GUO9GpGoBSrpBUW9TSG0TUApTA==

Budaya Komentar di Media Sosial dan Urgensi Akhlak al-Karimah di Era Digital


Bukittinggi Matajurnalist.com_Media sosial hari ini telah menjadi ruang hidup kedua bagi masyarakat Indonesia. Setiap hari jutaan pengguna membagikan pendapat, perasaan, foto, hingga aktivitas pribadi mereka. Ruang digital yang seharusnya menjadi sarana komunikasi dan kolaborasi kini berkembang menjadi arena diskusi publik yang dinamis.

Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga menghadirkan tantangan besar, terutama terkait degradasi akhlak. Fenomena saling menghina, komentar penuh emosional tanpa etika, penyebaran informasi palsu, hingga budaya cancel culture dengan mudah ditemui.

Transformasi teknologi yang begitu cepat tidak selalu selaras dengan kedewasaan moral penggunanya, terutama generasi muda yang menjadi kelompok paling aktif dalam berinteraksi di dunia maya.

Dalam kajian Akidah Akhlak, interaksi digital tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab moral seorang Muslim.


Akhlak bukan hanya berlaku dalam komunikasi lisan, tetapi juga dalam tulisan, chat, unggahan, hingga komentar di media sosial. Penelitian menunjukkan bahwa degradasi akhlak akibat media sosial semakin meningkat, terutama pada kalangan pelajar dan mahasiswa (Ramadhan et al., 2025). Tidak heran jika fenomena "toxic comment", debat kusir, hingga provokasi digital terus merajalela. Oleh karena itu, pembahasan mengenai etika berkomentar dan urgensi akhlak al-karimah menjadi semakin relevan, mengingat media sosial kini menjadi ruang utama interaksi generasi modern.

1. Media Sosial dan Perubahan Perilaku Komunikasi

Media sosial telah membawa perubahan besar dalam pola komunikasi masyarakat. Jika pada masa lalu seseorang membutuhkan tatap muka atau minimal melalui suara untuk berpendapat, kini cukup mengetik dalam hitungan detik pendapat tersebut dapat menjangkau ribuan hingga jutaan pengguna. 

Kemudahan ini di satu sisi membuka kesempatan untuk berbagi ilmu dan kebaikan, namun di sisi lain memunculkan masalah etika yang semakin kompleks. Dalam kajian digitalisasi agama, media sosial ternyata juga menjadi ruang baru untuk dakwah dan wisata religi, tetapi tetap menyimpan problem etika karena pengguna seringkali tidak memahami batasan komunikasi Islami (Rizal et al., 2024). 


Kebebasan berbicara yang seharusnya digunakan secara bertanggung jawab justru kerap disalahgunakan untuk merendahkan orang lain, menyebarkan ujaran kebencian, atau memprovokasi opini publik. Fenomena komentar kasar dan sikap impulsif semakin menunjukkan bahwa literasi digital masyarakat belum diimbangi dengan literasi akhlak.

Pratiwi & Fajrul Islam (2022) menegaskan bahwa etika komunikasi dalam Islam merupakan bagian integral dari dakwah bil-lisan. Artinya, setiap kata yang ditulis atau diucapkan harus mencerminkan nilai kebenaran, kelembutan, dan kesantunan. Namun realitas hari ini justru berkebalikan. Banyak netizen yang tidak lagi mempertimbangkan dampak komentarnya terhadap psikologis orang lain. Hal ini menunjukkan perlunya pemahaman lebih dalam mengenai adab komunikasi dalam Islam.

2. Etika Komunikasi Bermedia Sosial dalam Perspektif Islam

Akidah Akhlak memandang bahwa komunikasi bukan hanya proses menyampaikan pesan, tetapi juga pertanggungjawaban moral dan spiritual. Islam memberi pedoman lengkap tentang bagaimana seorang Muslim harus berbicara, termasuk di dunia digital. Dalam penelitian Amelia & Nasrulloh (2024), Al-Qur’an menekankan nilai qaulan sadida (perkataan benar), qaulan karima (perkataan mulia), qaulan layyina (perkataan lembut), dan qaulan ma’rufa (perkataan yang pantas). Beberapa prinsip utama yang sangat relevan untuk media sosial antara lain:

a. Menjaga kesantunan dalam berbicara.

QS. Al-Isra’ ayat 53 memerintahkan umat Islam agar berkata baik untuk menghindari perselisihan. Dalam konteks media sosial, komentar yang kasar, sinis, atau merendahkan sangat bertentangan dengan perintah ini. Seorang Muslim harus sadar bahwa jejak digital tidak hilang begitu saja.


b. Tabayyun (klarifikasi).

QS. Al-Hujurat ayat 6 menegaskan pentingnya memverifikasi berita sebelum menyebarkannya. Budaya komentar di media sosial sering kali muncul dari informasi yang belum jelas. Tanpa tabayyun, seseorang dapat dengan mudah menjadi penyebar fitnah.

c. Menjauhi ghibah, namimah, dan tajassus.

Menggunjing, mengadu domba, dan mencari kesalahan orang lain merupakan dosa besar. Namun budaya ini justru semakin normal di media sosial karena dianggap sebagai hiburan.

d. Berkata baik atau diam.

Hadis Nabi SAW: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” Sikap ini menjadi sangat relevan mengingat banyak komentar muncul dari emosi sesaat. Menurut Safuan (2020), adab Islami harus menjadi dasar bermedia sosial agar interaksi digital tidak mendatangkan kerusakan moral.


3. Pengaruh Media Sosial Terhadap Degradasi Akhlak

Berbagai studi mengonfirmasi bahwa media sosial memiliki pengaruh besar terhadap perilaku moral generasi muda. Ramadhan et al. (2025) menunjukkan bahwa degradasi akhlak mahasiswa sangat dipengaruhi oleh paparan konten negatif, terutama komentar kasar, candaan yang merendahkan martabat, dan perilaku pamer yang berlebihan. Menurut Raihan et al. (2024), media sosial dapat menyebabkan:

a) hilangnya sensitivitas moral karena terbiasa melihat kata-kata kasar,

b) normalisasi perilaku menghina dan merendahkan,

c) meningkatnya ego dan sifat takabur akibat budaya pencitraan (likes & followers),

d) kecenderungan bersikap impulsif tanpa pertimbangan etika,

e) hilangnya rasa malu dan kontrol diri ketika mengomentari hal sensitif.

Generasi milenial dan Gen Z sangat rentan terhadap fenomena ini karena mereka tumbuh di era digital. Rosmalina (2022) menegaskan bahwa dakwah literasi digital perlu dihadirkan untuk menjaga akhlak pengguna media sosial agar tidak hanyut dalam budaya negatif yang normal.

4. Urgensi Akhlak al-Karimah dalam Menghadapi Tantangan Digital

Akhlak al-karimah adalah pilar utama pembentuk karakter manusia. Dalam era digital, akhlak tersebut menjadi semakin penting karena interaksi modern tidak lagi terbatas pada kontak fisik. Seseorang dapat menyakiti orang lain hanya dengan satu komentar pendek. Karena itu, akhlak bukan sekadar teori, tetapi pedoman praktis yang harus diterapkan. Oktaviana et al. (2024) menjelaskan bahwa internalisasi akhlak harus dilakukan sejak dini melalui pembiasaan dan pendidikan. Nilai seperti sabar, jujur, adil, rendah hati, dan husnuzan tidak hanya membentuk karakter individu tetapi juga mencegah konflik di media sosial. Pratama et al. (2024) menambahkan bahwa kurikulum Pendidikan Islam perlu mengintegrasikan akhlak digital. Sementara itu, Khoerunnisa et al. (2025) menegaskan bahwa tauhid berperan besar dalam menjaga akhlak karena seseorang yang sadar bahwa Allah Maha Melihat (muraqabah) akan lebih berhati-hati sebelum menulis komentar.

Budaya komentar di media sosial merupakan cerminan kondisi akhlak masyarakat. Ketika ruang digital dipenuhi cacian, fitnah, dan komentar yang merendahkan, hal tersebut menandakan adanya krisis moral yang perlu segera ditangani. Islam melalui ajaran akhlak al-karimah menawarkan solusi konkret berupa etika komunikasi, penguatan iman, serta pembinaan karakter yang berkelanjutan. Berbagai penelitian membuktikan bahwa media sosial dapat berdampak negatif jika tidak dibarengi dengan penguatan akhlak. Oleh karena itu, internalisasi nilai-nilai Islam seperti qaulan sadida, tabayyun, husnuzan, serta menjaga lisan menjadi sangat penting dilakukan, baik oleh individu, keluarga, pendidik, maupun institusi keagamaan. Dengan menerapkan akhlak yang baik, setiap Muslim dapat menjadi agen kebaikan di dunia digital. Media sosial tidak hanya menjadi tempat berbagi informasi, tetapi juga bisa menjadi ladang pahala jika digunakan dengan akhlak mulia, penuh kesantunan, dan membawa kemaslahatan bagi orang lain.

Referensi:

Amelia, U., & Nasrulloh. (2024). Konsep Etika Komunikasi Bermedia Sosial Perspektif Al-Qur’an. Al-Fahmu: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 3(2), 163–174.

Oktaviana, A., Erliani, D., Darlis, A., Harahap, R., & Manullang, P. H. (2024). Internalisasi Akhlakul Karimah pada Peserta Didik di Era Modern. Al-Fikr: Jurnal Pendidikan Islam, 10(1), 21–29.

Khoerunnisa, R., Febiola, N. D., Maulana, R. A. R., & Gustini, N. (2025). Urgensi Tauhid Dalam Pembentukan Akhlak Karimah Generasi Zillenial di Era Digital. Syiar: Jurnal Ilmu Komunikasi Islam, 8(1), 53–61.

Pratiwi, I., & Fajrul Islam, A. F. (2022). Etika Komunikasi Dakwah Dalam QS. Ar-Rahman Ayat 1–4. Spektra Komunika, 1(1), 1–12.

Putri, Rosita et al. (2022). Penyuluhan Pentingnya Etika Bermedia Sosial Bagi Seorang Muslim. Literasi: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(1), 86–92.

Ramadhan, M., Mukmin, M., & Syahrul. (2025). Media Sosial dan Degradasi Akhlak: Respons Pendidikan Islam. JICN, 2(4).

Raihan, Z., et al. (2024). Dampak Media Sosial Terhadap Akhlak di Era Globalisasi. Jurnal Budi Pekerti Agama Islam, 2(2), 301–315.

Rizal, D. A., Maula, R., & Idamatussilmi, N. (2024). Transformasi Media Sosial dalam Digitalisasi Agama: Media Dakwah dan Wisata Religi. Mukaddimah: Jurnal Studi Islam, 9(2).

Rosmalina, A. (2022). Dakwah Literasi Digital Terhadap Perilaku Generasi Milenial Dalam Bermedia Sosial. Orasi: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 13(1), 64–77.

Safuan, M. (2020). Adab Komunikasi Dalam Islam: Bijak Dalam Bermedia Sosial. SELL Journal, 5(1), 55.

Penulis: Novraliza 

Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi

Komentar0

Type above and press Enter to search.