Bukittinggi MataJurnalist.com_ Ada satu fase dalam hidup sebagai mahasiswi yang membuat saya harus sejenak keluar dari ruang kelas, dari rutinitas akademik, untuk menyelami kehidupan nyata bersama Masyarakat. Kuliah Kerja Nyata (KKN), bagi saya pengalaman KKN bukan sekadar menjalankan program kerja, tapi tentang bagaimana saya belajar menjadi bagian dari Masyarakat di Jorong Bancah, Nagari Kamang, Kabupaten Agam.
Saya tergabung dalam KKN 05 Sahati Bancah, bersama sebelas teman lainnya sembilan perempuan dan dua laki-laki. Kami berasal dari latar belakang dan jurusan yang berbeda, namun kami disatukan oleh semangat yang sama mengabdi dan belajar dari masyarakat. Sejak awal, saya menyadari bahwa peran saya di sini bukanlah sebagai “pembawa perubahan,” melainkan sebagai seorang pembelajar yang siap menyatu dengan lingkungan dan ikut berproses bersama mereka.
Disambut Seperti Keluarga Sendiri
Hari pertama di Jorong Bancah terasa istimewa. Sambutan masyarakat sungguh hangat, tulus, dan menyentuh. Saya tak merasa seperti orang asing, justru seperti anak yang pulang ke kampung halaman. Warga dengan ringan hati menawarkan tempat tinggal, makanan, bahkan cerita-cerita lokal yang menjadi pintu masuk saya memahami budaya setempat.
Yang paling membekas adalah semangat para pemuda kampung. Mereka bukan hanya menyambut, tapi langsung terlibat aktif dalam berbagai kegiatan. Mereka menjadi sahabat, rekan kerja, sekaligus penggerak lapangan. Saya merasa beruntung bisa berada di tengah lingkungan yang begitu mendukung, kolaboratif, serta memiliki jiwa solidaritas yang tinggi.
Menyulap Lahan Kosong Jadi Ruang Bermakna
Salah satu program besar yang saya jalankan bersama tim adalah membangun taman dan pondok santai di sebuah lahan kosong. Ide ini berangkat dari keinginan kami untuk meninggalkan sesuatu yang bersifat jangka panjang bagi masyarakat, khususnya untuk anak-anak dan remaja yang butuh ruang bermain dan belajar di luar rumah, serta untuk tempat berkumpulnya masyarakat dan pemuda jorong Bancah untuk berbagi cerita di satu atap pondok yang teduh.
Membangun taman mungkin terdengar sederhana, tapi dalam prosesnya, saya benar-benar belajar arti kerja keras, kebersamaan, dan kesabaran. Dari mengosongkan lahan tebing tanah dari Semak belukar, memotong bambu dan di gotong , membuat pagar dari babu, menanam bunga, hingga menegakkan pondok dari bambu, semuanya dikerjakan bersama dengan warga dan pemuda setempat. Di sanalah saya merasakan bahwa pembangunan tak selalu soal anggaran besar, tapi niat yang tulus dan tangan-tangan yang bersedia bekerja sama.
Hijriah Meriah, Proker Peringatan Tahun Baru yang Penuh Warna
Memasuki bulan Muharram, kami memperingati Tahun Baru Islam dengan sesuatu yang menyenangkan dan mendidik. Maka lahirlah acara bertema “Hijriah Meriah”, yang diisi dengan berbagai lomba seperti sambung ayat, adzan, estafet air, cinta dalam suapan, rantai sarung, joget balon, hingga makan kerupuk.
Acara itu sukses menghadirkan semangat kebersamaan di tengah kampung. Anak-anak tertawa riang, para orang tua menyemangati , dan pemuda sibuk menjadi panitia dadakan serta antusias ikut membersamai lomba dengan semangat. Saya merasa bahagia melihat wajah-wajah gembira di tengah kesederhanaan ini. Ternyata, kebahagiaan bisa diciptakan dari hal-hal kecil, asalkan dilakukan bersama.
Pelatihan Desain di MTsN 2 Agam Membuka Ruang Kreativitas
Sebagai mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam, saya merasa punya tanggung jawab untuk berbagi ilmu yang saya miliki. Maka saya menyelenggarakan pelatihan desain menggunakan aplikasi Canva di MTsN 2 Agam. Dalam proker pribadi ini saya memperkenalkan dasar-dasar desain grafis dari pemilihan warna, penggunaan tipografi, hingga tata letak poster dan pamflet.
Saya tak menyangka antusiasme siswa-siswi begitu tinggi. Banyak dari mereka yang dengan cepat memahami materi dan menghasilkan karya desain yang layak diapresiasi. Saat melihat mereka bangga dengan hasil karyanya, saya merasa semua persiapan dan tenaga yang saya keluarkan benar-benar terbayar.
Tantangan yang Tak Menyurutkan Langkah
Seperti halnya perjalanan pengabdian lainnya, KKN saya juga diwarnai tantangan. Posko yang tidak memiliki air bersih dan WC yang layak saat pertama kami disna. Setiap hari, saya harus berjalan ke sumur yang bernama “Luak” yang merupakan genangan mata air bukit barisan, luak menjadi jantungnya Masyarakat Bancah yang menjadi tempat sumber air untuk minum, mandi dan mencuci. Belum lagi ancaman sarang penyengat di sekitar posko yang membuat malam terasa tidak tenang.
Namun, justru dalam keterbatasan itu, saya menyaksikan solidaritas yang luar biasa. Pemuda kampung bahu membahu membasmi sarang penyengat membersihkan wc posko hingga layak pakai, dan memastikan kami bisa tinggal dengan nyaman. Bagi saya, itu bukan sekadar bantuan, tapi bukti nyata kasih sayang yang tulus dari pemuda Jorong Bancah dan warganya.
Pulang dengan Hati yang Berbeda
Empat Puluh hari bukan waktu yang lama, tapi cukup untuk mengubah cara pandang saya tentang hidup dan peran seorang mahasiswi. Saya datang ke Bancah dengan semangat ingin mengabdi, tapi justru saya pulang dengan hati yang diperkaya oleh pengalaman, cinta masyarakat, dan pelajaran hidup yang tak ternilai.
Saya belajar bahwa kehadiran mahasiswa di tengah masyarakat bukan untuk menunjukkan siapa yang lebih tahu, tetapi untuk membaur, mendengar, dan ikut merasakan denyut kehidupan mereka. KKN bukan sekadar kewajiban akademik, tapi ruang latihan kehidupan sosial yang
sesungguhnya.
KKN 05 Sahati Bancah adalah bagian penting dalam perjalanan saya. Ia mengajarkan bahwa kolaborasi dan empati jauh lebih bermakna daripada program yang sempurna. Saya mungkin hanya seorang mahasiswa biasa, tapi di Bancah, saya merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar. sebuah keluarga, sebuah perjuangan, dan sebuah kenangan yang akan selalu saya bawa ke mana pun saya melangkah.
Penulis : Novraliza,
Mahasiswi Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Relawan UIN Bukittinggi TV.
Komentar0